Al-Quran dan Keistimewaan Gaya Bahasanya

Keistimewaan gaya bahasa dalam al-Qur’an, seringkali membingungkan mereka yang asing dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Saw secara berangsur-angsur. Adapun muatan dari al-Qur’an sendiri merupakan wahyu-wahyu dari Allah swt yang kualitas periwayatannya adalah mutawatir. al-Qur’an pun diturunkan secara bertahap yang memuat berbagai nilai, baik itu nilai teologis (akidah), nilai-nilai hukum, kemanusiaan maupun nilai-nilai yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Untuk itulah al-Qur’an bukan hanya diposisikan sebagai kitab suci, melainkan betul-betul menjadi pedoman dalam kehidupan manusia (Ibnu Khaldun: 2001).

            Sebagai Kalamullah, pada mulanya para ulama sepakat bahwa Kalamullah itu tidak mempunyai bahasa tertentu atau sering disebut oleh para ulama adalah “munazzahun ‘anillughaat” (terbebas dari bahasa). Kemudian Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril as. dan sampai kepada dada Nabi Muhammad SAW. dengan bahasa Arab (Qamhawi: 2007). Bukan tanpa tujuan, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena al-Qur’an turun kepada bangsa Arab.

            Sebagai kitab suci yang diturunkan kepada bangsa Arab yang saat itu tengah mengalami masa keemasan di bidang sastra, maka al-Qur’an pun turun kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, dengan kandungan sastra yang sangat tinggi. Siapapun yang membacanya akan memahami bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an bukanlah bahasa yang biasa, melainkan bahasa yang hanya dapat diaplikasikan oleh para sastrawan (Ibnu Khaldun: 2001). Hal ini pun Allah swt sampaikan di dalam firmannya:

﴿إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ٢﴾ [يوسف: 2]

Artinya: “Sungguh Kami menurunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab agar kalian memahami.”

Zuhaili (2016) menjelaskan tafsiran dari ayat tersebut bahwa Allah swt menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab. Yaitu dengan gaya bahasa yang paling fasih dan paling jelas serta paling luas (pemaknaannya) dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Dengan pola penyampaian yang sangat menyentuh hati, agar dapat ditadabburi dengan mudah setiap ayatnya.

Penafsiran Wahbah Zuhaili tadi diperjelas oleh Ihsan Amin (2007) bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa yang sangat fasih karena berapa aspek gaya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an:

  1. Penggunaan konteks mukhotob yang tepat dan sesuai dalam setiap ayat. Misalnya kapan Allah swt menyampaikan ayat-ayat tertentu kepada orang-orang mukmin, kapan kepada orang kafir, dan kapan pula disampaikan kepada manusia secara umum.
  2. Ayat-ayat di dalam al-Qur’an menggunakan gaya bahasa yang mengajak orang untuk mentadabburi dan mentafakkuri setiap ayat-ayat tersebut. Sehingga pesan-pesan ayat al-Qur’an dapat menyentuh pembacanya dengan baik sesuai nalar dan logika pembacanya, namun tetap sesuai dengan maksud aslinya.
  3. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang umum yang dengan sangat mudah dapat difahami oleh orang-orang Arab karena menggunakan bahasa yang sebenarnya sangat dekat dengan mereka.

Walaupun al-Qur’an turun dengan bahasa Arab dan sebagaimana dijelaskan Ihsan Amin tadi bahwa al-Qur’an turun dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah untuk difahami oleh orang Arab, Al-Qurthubi (dalam Zuhaili: 2016) menyampaikan bahwa al-Qur’an tetap memiliki keunikan dan keistimewaan gaya bahasa yang menjadikannya sebagai mukjizat:

  1. Komposisi yang indah yang berbeda dengan susunan yang dikenal dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya, sebab komposisinya sama sekali bukan tergolong komposisi puisi.
  2. Diksi yang berbeda dengan seluruh diksi yang biasa digunakan oleh orang Arab.
  3. Kefasihan yang tak mungkin dilakukan oleh makhluk, yang mana manusia dan jin sekalipun tidak mampu membuat rangkaian seperti surah terpendek dari al-Qur’an.
  4. Pemakaian bahasa Arab dengan cara yang tidak dapat dilakukan seorang Arab sendirian sehingga semua orang Arab sepakat bahwa pemakaian tersebut tepat dalam hal peletakan kata atau huruf di tempat yang semestinya.

Zuhaili (2016) pun menjelaskan mengenai karakteristik penggunaan setiap diksi di dalam al-Qur’an sebagai sebuah gaya bahasa yang sangat istimewa. Pertama, pola dan susunan yang luar biasa indah, serta timbangan yang menakjubkan yang berbeda dari seluruh bentuk kalam bangsa Arab, baik puisi, prosa, atau syair. Kedua, keindahan kata yang amat memukau, keluwesan format, dan keelokan ekspresi.

Ketiga, keharmonisan dan kerapian nada dalam rangkaian huruf-huruf, susunannya, formatnya, dan inspirasi-inspirasinya sehingga ia layak untuk menjadi seruan kepada seIuruh manusia dari berbagai level intelektual dan pengetahuan; ditambah lagi dengan kemudahan menghafalnya. Keempat, keserasian kata dan makna, kefasihan kata dan kematangan makna, keselarasan antara ungkapan dengan maksud, keringkasan, dan kehematan tanpa kelebihan apapun, dan penanaman banyak makna dengan ilustrasi-ilustrasi konkret yang hampir-hampir dapat ditangkap dengan panca indra dan pembacanya dapat berinteraksi dengannya, walaupun ia diulang-ulang dengan cara yang atraktif dan unik.

Dengan keindahan dan keistimewaan gaya bahasa dalam al-Qur’an, tak jarang bahasa-bahasa al-Qur’an tidak dapat difahami secara tepat oleh pembacanya, terutama yang tidak memahami kaidah-kaidah bahasa Arab. Terlebih lagi, Tingkat intelektualitas manusia amatlah beragam, untuk itu tetap dibutuhkan penafsiran yang sesuai agar pemahaman yang ditangkap sesuai dengan makna aslinya. Hal inipun dijelaskan oleh Ibnu Abbas (dalam As-Suyuthi: 1996): “Mereka mengetahui wujud luarnya dan hukum-hukumnya, tetapi untuk memahami secara mendalam itu harus melalui analisa lebih lanjut, bahkan dalam memahaminya pun berbeda-beda, sesuai dengan pengetahuan dan kesanggupan masing-masing.”

Dengan demikian, maka dalam memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, diperlukan penjelasan yang bersumber dari sumber yang terpercaya, yaitu Rasulullah Saw, yang mana pemaknaan-pemaknaan dari setiap diksi di dalam al-Qur’an pun harus sesuai dengan makna-makna yang sesuai dan dapat diterima oleh bangsa Arab (karena al-Qur’an turun dalam bahasa mereka), dengan begitu pemaknaannya akan mendekati ketepatan dengan maksud yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an (At-Thabari: T.Th.).

Referensi:

Amin, Ihsan. (2007). Manhaj an-Naqd fii at-Tafsir. Beirut: Daar al-Hadi.

At-Thabari. (T.Th.). Tafsir at-Thabari. Jilid 1. Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah.

Ibnu Khaldun. (2001). Muqoddimah Ibnu Khaldun. Terj. Masturi Ilham, dkk. Cet. 3. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Qamhawi, M.S. (2007). Al-Ijaz wa Al-Bayan fii ‘Uluumi Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Al-Syuruq Ad-Dauliyah.

Suyuthi, J. (1996). Al-Itqan fii ‘Uluumi al-Qur’an. Ed: Musthafa Diib al-Bugha. Cet. 2. Jilid. 2. Damaskus: Daar Ibnu Katsir.

Zuhaili, W. (2016). Tafsir Al-Munir. Jilid 7. Depok: Gema Insani Press.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *