Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!
Blog
-
Sekilas Mengenal Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i menjadi salah satu objek perbincangan yang masih populer dalam beberapa waktu belakangan ini, terutama dalam kurun waktu dua dekade terakhir abad ke-20 M. Banyak dari kalangan pakar ‘Ulum al-Qur’an dan kalangan dari bidang keilmuan lainnya yang memberikan tanggapan dan menyumbangkan beberapa pemikiran terkait dengan tema ini. Benih-benih tafsir maudhu’i telah ada sejak zaman Rasulallah Saw, namun ia baru berkembang sebagai sebuah metode yang sistematis itu jauh setelah masa beliau.[1]
Beberapa referensi menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menulis tafsir dengan menggunakan metode maudhu’i adalah Muhammad Mahmud Hijazy (w. 1391 H) dengan karyanya yang berjudul al-Wihdat al-Maudhu’iyyah fi al Quran al-Karim. [2] Karya dengan metode maudhui ini kemudian banyak bermunculan, seperti al-Yahud Fi al-Quran karya Muhammad ‘Izzah, al-Mar’ah fi al-Quran karya ‘Abbas Mahmud, Zhahiratu al Nifaq fi al-Quran karya ‘Abdurrahman Habnakah dan lain sebagainya.
Kemudian, Abdul Hayy Al-Farmawi menulis dalam catatanya selaku pelopor dari metode tafsir ini adalah Muhammad Abduh, kemudian ide pokoknya tersebut diberikan oleh Mahmud Syaltut, yang kemudian dikenalkan secara konkret oleh Sayyid Ahmad Kamal Al-Kumy. Dalam perkembangannya Ahmad Sayyid al Kummi menjadikan tafsir maudhu’i sebagai materi matakuliah di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar University, Cairo. Metode ini kemudian semakin berkembang luas dan pada akhirnya menemukan bentuknya setelah al-Farmawi, yang juga selaku guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar menerbitkan karyanya yang berjudul Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlui. [3]
Definisi Tafsir Maudhu’i
Definisi Tafsir maudhu’i ini, setidaknya bisa kita lihat dari dua sudut pandang yaitu pertama, definisi tafsir maudhu’i sebagai sebuah metode yaitu suatu metode dalam manafsirkan Alqur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai tema atau topik pembahsan dan juga tujuan yang sama lalu menafsirkannya dengan terperinci seperti yang ada pada kaidah tafsir tahlili, menjelaskan maknanya dan mengistimbatkan hukum-hukum didalamnya.
Kedua, definisi tafsir maudhu’i sebagai suatu ilmu yaitu ilmu yang didalamnya mencangkup atau membahas tema-tema tertentu yang tampak dan menjadikanya sebagai dasar dalam menjelaskan metode penafsiran Alqur’an berdasarkan kaidah dan syarat-syarat yang sesuai agar penafsiran tersebut selamat dan sampai kepada tujuanya yaitu menjadi hidayah. [4]
Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Terkait hal ini, kita akan mengetahui langkah-langkah operasional yang ditawarkan oleh para ulama terkait penerapan tafsir maudhu’i sebagai berikut:
Pertama, langkah operasional tafsir maudhu’i versi Al Farmawy
- Menetapkan masalah yang akan dibahas.
- Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
- Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbâb nuzûl nya.
- Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
- Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).
- Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
- Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayatnya yang memiliki pengertian yang sama atau mengkompromikan antara ayat yang ám (umum) dan khâsh (khusus); muthlaq (tidak terikat) dan muqayyad (terikat); atau ayat yang secara lahirnya terkesan bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu pusat tanpa perbedaan dan pemaksaan.[5]
Kedua, langkah operarasional tafsir maudhu’i versi abd al- Sattar
- Memiliki pengetahuan yang mendalam terkait makna at-tafsîr al-madhûî al-khâsh yang dikehendaki penafsir dalam mengoprasikan metodenya
- Menentukan tema tertentu dalam al-Quran dengan penentuan yang cermat
- Memilih judul dari lafazh-lafazh al-Quran yang selaras dengan tema kajian
- Mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan tema yang diusung
- Mengurutkannya sesuai dengan makki madani dan berdasarkan urutan masa turunnya ayat sebisa mungkin
- Memahami ayat dengan merujuk kepada penafsiranya, mengetahui hal ihwal terkait sebab-sebab turunnya ayat, graduasi pensyariatan, naskh, umum dan khusus serta pengetahuan yang lainnya yang menunjang pemaknaan terhadap ayat yang dimaksud
- Membagi tema kajian pada pembahasan yang menjadi pokok yang saling berkaitan, mana ayat yang menjadi pokok dan mana yang menjadi turunannya sehingga.[6]
Munculnya Tafsir Maudhu’i ini erat kaitannya dengan adanya kebutuhan deposit 10 ribu terhadap produk penafsiran dengan frame kesatuan tema, selain itu tafsir maudhu’i juga merupakan suatu upaya untuk menyibak keajaiban-keajaiban Al-Qur’an dan kaitannya dengan ihtiyajat al-ashr (kebutuhan kekinian). Itulah sekilas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Tafsir Maudhu’i. Wallahu A’lam bish Shawab.
Daftar Pustaka
Abd al- Hay Al Farmawy, 1977. Al-Bidayah fi al-Tafsir al- Maudhu’i. (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyyah)
Abd al-Sattar, 1991. Al- Madkhal ila al-Tafsir al-Maudhu’i. (Kaior: Dar al-Tanwir wa al-Nasyr al-Islamiyyah)
Al-Lauh, ‘Abdu al-Salam Hamdan, 2004. Wafaqat ma’a Nazhariyat al-Tafsir al-Maudhu’i¸ (Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Dirasat al-Insaniyyah)
Saamir Abdurrahman Risywani, 2009. Manhaju At-Tafsir Al-Maudhu’iy Lil Qur’an, (Suriah: Dar Al-Multaqy)
Zulheldi, Z. (2015). TAFSIR MAUDHU’I (TAFSIR TEMATIK). JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN IAIN IB PADANG, 5(1).
[1] Zulheldi, Z. (2015). TAFSIR MAUDHU’I (TAFSIR TEMATIK). JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN IAIN IB PADANG, 5(1).
[2] Al-Lauh, ‘Abdu al-Salam Hamdan, 2004. Wafaqat ma’a Nazhariyat al-Tafsir al-Maudhu’i¸ (Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Dirasat al-Insaniyyah)
[3] Abd al- Hay Al Farmawy, 1977. Al-Bidayah fi al-Tafsir al- Maudhu’i. (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyyah)
[4] Saamir Abdurrahman Risywani, 2009. Manhaju At-Tafsir Al-Maudhu’iy Lil Qur’an, (Suriah: Dar Al-Multaqy)
[5] Abd al- Hay Al Farmawy, 1977. Al-Bidayah fi al-Tafsir al- Maudhu’i. (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyyah)
[6] Abd al-Sattar, 1991. Al- Madkhal ila al-Tafsir al-Maudhu’i. (Kaior: Dar al-Tanwir wa al-Nasyr al-Islamiyyah)
-
‘Aisyah bint Syathi: Mufassirah Pertama Abad Modern-Kontemporer
Terdapat pertanyaan mendasar terkait wanita pertama yang menafsirkan al-Qur’an di abad modern-kontemporer. Banyak anggapan bahwa Amina Wadud ialah mufassirah pertama di abad modern-kontemporer dengan karyanya yang berjudul “Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text from a woman’s Perspective” yang terbit pada tahun 1999 dan diterbitkan oleh Oxford University Press dengan jumlah145 halaman.
Namun, ternyata terdapat sosok wanita yang jauh lebih dahulu menulis sebuah karya tafsir yaitu ‘Aisyah bin ‘Abd al- Rahman atau yang lebih mashur dikenal dengan Bintu Syathi dengan karyanya yang berjudul al- Tafsir al- Bayan li al-Qur’an al- Karim yang terbit pada tahun 1962 oleh penerbit Dar al- Ma’arif yang tersusun atas dua jilid dan berjumlah 500 halaman. [1]
Biografi ‘Aisyah bint Syathi
Prof. Dr. ‘Āishah ‘Abd al-Raḥmān adalah salah satu tokoh dalam bidang tafsir al-Qur’an dan sastra. Ia lebih dikenal dengan nama Bint al-Shāṭi’. Sosok wanita alim dan produktif. Lahir di kota Dimyat, sebuah kota Pelabuhan di Delta Sungai Nil, Bagian Utara Mesir, pada tanggal 6 November 1913 M, bertepatan dengan tanggal 6 Dzulhijjah 1331 H, dari pasangan Shaykh Muḥammad ‘Alī ‘Abd al-Raḥmān dan Farīdah ‘Abd al-Salām Muntaṣir. Ia hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan, dan berpendidikan. Shaykh Ibrāhīm ad-Damhūjī al-Kabīr, kakek dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.[2]
Sejak usia dini, ‘Aisyah telah berhasil menghafalkan al-Qur’an di sekolah khusus Al-Qur’an yang bernama al-Katatib yang sangat terkenal pada masa itu. Sedangkan dalam pembelajaran fiqh dan sastra, ia mendapatkan pengajaran langsung dari ayahnya. ‘Aisyah pernah menuturkan kisahnya bahwa kebahagiaan yang amat luar biasa ia diberikan seorang ayah yang cerdas, shalih, suri tauladan dan penyejuk hati. [3]
Mengenai perjalanan akademiknya, ‘Aisyah termasuk wanita yang memiliki keberuntungan besar, sebab dimana wanita pada masanya sedikit sekali yang dapat melanjutkan dan mengeyam pendidikan hingga bagku kuliah, terlebih hingga jenjang studi doktoral. Namun, ‘Aisyah mampu menyelesaikan pendidikan magisternya pada tahun 1941 di Universitas Ain Syams pada program studi bahasa dan sastra Arab.
Fakta menariknya adalah ‘Aisyah menikah dengan Amin al- Khulli yang menjadi gurunya, sehingga selain menjadi sosok guru, motivator, Amin al- Khulli menjadi pendamping ‘Aisyah yang banyak sekali memberikan dampak pada cara berfikir dan metode penafsiran yang ia tuliskan. Sehingga, pada tahun 1950 ‘Aisyah dapat menyelesaikan disertasinya dan diuji oleh Taha Husein seorang penyair dan pakar sastra Arab sekaligus rektor Universitas Alexandria Mesir.
Karya Intelektual
Karya-karya Bint al-Syathi yang berkaitan dengan kajian Al-Quran antara lain adalah Al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim, Maqal fi al-Insan, Al-Qur’an wa al-Tafsir al-Ashriy, Al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an, Al- Syakhshiyyah al-Islamiyyah; Dirasah Quraniyyah. [4] Sebagai pembela hak-hak perempuan, bintu Syathi juga menulis beberapa karya terkait hak-hak perempuan diantaranya yaitu The (woman) Loser, The Lost Woman, The (woman) Stranger, The Rebellious, The Dreamer, The Innocent, The Sad, How Do Our (male) Literary Figures View Wo-men?, The Image of Women in our Literature, We Are No More Evil than Men, dan Will a Women Become a Shaykh in al-Azhar?. [5]
Metodologi Tafsir al- Bayani li al- Qur’an al- Karim
Dalam kitab al-Tafsir al-Bayani Lil Qur’anil Karim, sumber penafsiran yang digunakan oleh ‘Aisyah bint Syathi yaitu tafsir bi al-Ra’yi. Karena, Bintu Syathi’ banyak merujuk kepada pendapatnya Zamaksary dalam kitab Tafsir al-Kasysyaf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhith, bisa kita lihat dalam mukaddimahnya secara metodologi beliau mengikuti sang guru dan juga sebagai suaminya, Amin al-Khulli. Serta beliau juga mengadopsi beberapa gaya Mustafa Shadiq ar-Rafi’i meski hanya sedikit.
Terkait metode penafsiran, bisa kita lihat bahwa secara jelas pada tafsirnya ia memperlihatkan bahwa metode yang ia gunakan dalam kitab Tafsir al bayan al-tafsir menggunakan metode maudhu’i, tafsir tersebut membicarakan satu tema dengan mekanisme mengumpulkan ayat-ayat yang terkait. Serta beliau juga mengadopsi beberapa gaya Mustafa Shadiq ar-Rafi’i meski hanya sedikit. Kemudian terkait corak penafsiran tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim ini yaitu bercorak al- Adabi yaitu corak tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguraikan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat-ayat yang di tafsirkan. [6]
Sikap ‘Aisyah bint Syathi terhadap Tafsir Saintifik
Meskipun ia hidup di era modern, namun ‘Aisyah termasuk kedalam tokoh yang menolak keras tafsi saintifik yang mana ia terpangaruh oleh suaminya yaitu Amin al-Khulli yang tidak sepakat pula terhadap tafsir saintifik. Penolakan nya ini ia tulis secara khusus dalam karyanya yang berjudul “al-Qur’an wa al-Tafsir al-Asri.
Kemudian, ia menolak pula pandangan tafsir saintifik sari seorang dokter yang bernama Mustafa Mahmud yang tertuang dalam karyanya yang berjudul “al-Qur’an Muhawalah li Fahm ‘Asri”. Begitu juga terdapat karyanya yang menolak teori evolusi dari seorang Mustafa Mahmud yang tertuang dalam karyanya yang berjudul “’Aisyah al-Qur’an wa Qadaya al-Insan”. [7]
Daftar Pustaka
‘Aisyah bint Syathi, t.th. al- Tafsir al- Bayani li al-Qur’an al- Karim, (Kairo: Dar al-Ma’arif)
Amalia, N. N., & Lum’ah, D. D. (2023). Tafsiran Lafadz Khusyu’Perspektif Aisyah Bintu Syathi’(Tinjauan Kitab al-Tafsir al-Bayani Lil Qur’anil Karim). Al-Fahmu: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 2(2), 176-185.
Retno Prayudi & Abd. Hamid, 2023. Wanita ahli Tafsir abad Modern, (Sukabumi: CV Haura Utama)
Thohari, F. B. (2016). ‘Āishah ‘Abd al-Raḥmān bint al-Shāṭi’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer. Dirosat Journal of Islamic Studies, 1(1), 87-99.
Wardah, M. (2018). BINT AL-SYATHI’DAN METODE PENAFSIRANNYA (Studi Atas Kitab Tafsir al-Bayani Li al-Qurán al-Karim). KAJIAN PENDIDIKAN DAN KEISLAMAN, 10(2), 220-235.
[1] ‘Aisyah bint Syathi, t.th. al- Tafsir al- Bayani li al-Qur’an al- Karim, (Kairo: Dar al-Ma’arif)
[2] Thohari, F. B. (2016). ‘Āishah ‘Abd al-Raḥmān bint al-Shāṭi’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer. Dirosat Journal of Islamic Studies, 1(1), 87-99.
[3] Retno Prayudi & Abd. Hamid, 2023. Wanita ahli Tafsir abad Modern, (Sukabumi: CV Haura Utama) hal. 82
[4] Wardah, M. (2018). BINT AL-SYATHI’DAN METODE PENAFSIRANNYA (Studi Atas Kitab Tafsir al-Bayani Li al-Qurán al-Karim). KAJIAN PENDIDIKAN DAN KEISLAMAN, 10(2), 220-235.
[5] https://suaraaisyiyah.id/aisyah-bintu-syathi-perempuan-pelopor-tafsir-modern
[6] Amalia, N. N., & Lum’ah, D. D. (2023). Tafsiran Lafadz Khusyu’Perspektif Aisyah Bintu Syathi’(Tinjauan Kitab al-Tafsir al-Bayani Lil Qur’anil Karim). Al-Fahmu: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 2(2), 176-185.
[7] Retno Prayudi & Abd. Hamid, 2023. Wanita ahli Tafsir abad Modern, (Sukabumi: Cv: Haura Utama) hal. 93
-
Mengenal Qowaid Tafsir
Dalam memahami makna mendalam dari ayat-ayat al-Quran, diperlukan pernafsiran yang mendekati nilai kebenaran sesuai dengan maksud yang diingin kan Allah swt. Al-Quran memiliki kelebihan berupa kekayana makna dari kalimat-kalimat yang dipilih dan digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada para pembacanya. Namun demikian, bukan berarti Al-Quran dapat ditafsirkan sesuai kehendak dan pemahaman pembacanya. Tetap ada koridor maupun kaidah tertentu yang digunakan sebagai landasan dasar dalam menafsirkan Al-Quran.
Untuk itulah para ulama menghimpun sebuah cabang dalam ilmu tafsir yang membahas khusus kaidah-kaidah yang berlaku tersebut dan diberi nama qowaid tafsir. Namun apa itu qowaid tafsir serta bagaimana urgensinya?
- Qowaid
Kaidah-kaidah tafsir asalnya adalah terjemah dari kata Bahasa Arab قواعد التفسير yang berasal dari dua suku kata yaitu Qawaid dan Al Tafsir. Qawaid sendiri adalah bentuk plural atau jamak dari Qaidah (َقاعدة) yang secara bahasa berarti pondasi. Raghib al Asfahani (dalam Haririe, dkk: 2024) menyebutkan القاعدة من البناء : أساسه“Kata kaidah, dalam konteks sebuah bangunan adalah pondasinya.” Makna ini selaras dengan makna Qawaid pada surat Al Baqarah 127. Allah S.W.T. berfirman,
﴿وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ١٢٧﴾ [البقرة: 127]
Artinya: “Ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan pondasi-pondasi rumah Allah bersama Ismail
seraya berdoa: “Wahai Tuhan kami terimalah daripada kami amalan kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Al=Wahidi (dalam Haririe, dkk: 2024) menyebutkan arti dari Al-Qawāid di dalam ayat tersebut adalah (أصول الأساس) atau pondasi-pondasi asas. Secara ringkas arti kaidah secara bahasa adalah asas atau pondasi. Atau dengan istilah lain, sesuatu di mana sesuatu yang lain dibangun di atasnya. Kalau diianalogkan dengan bangunan, maka Qaidah bagaikan pondasi dari sebuah bangunan (dalam Haririe, dkk: 2024).
Sementara dari segi terminologis, Al-Sabt (dalam Haririe, dkk: 2024) menyampaikan terdapat banyak definisi di kalangan para ahli. Antara lain, makna qoidah adalahحكم كلي يتعرف به على أحكام جزئياته “Hukum umum yang digunakan untuk mengidentifikasi hukum-hukum rinciannya.”
- Tafsir
Adapun makna tafsir menurut Al-Dzahabi (dalam Haririe, dkk: 2024)berasal dari kata (فسّر – يفسّر – تفسيرا) yang artinya (الإضاح والتبيين) penjelasan dan penerangan. Fairuz Abadi (dalam Haririe, dkk: 2024) menyebut makna tersebut selaras dengan makna akar kata Fassara yang berasal dari (الفسر) yang artinya (الإبانة وكشف المعطي) penjelasan dan menyingkap yang tertutup.
Makna ini selaras dengan ayat Alquran surat Al-Furqan ayat 33:
﴿وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا٣٣﴾ [الفرقان: 33]
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang permisalan, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
As Sa’di (dalam Haririe, dkk: 2024) menjelaskan bahwa makna wa ahsana tafsira dalam ayat tersebut adalah;
مبيّن للمعاني بيانا كاملا
“Menjelaskan makna-makna dengan penjelasan yang sempurna.”
- Qowaid Al Tafsir
Di antara definisi kaidah tafsir yang populer adalah definisi yang diutarakan oleh Khalid ibn Utsman Al Sabt (dalam Haririe, dkk: 2024):
الأحكام الكليّة الّتي يتوصل بها الى استنباط معاني القرآن العظيم ومعرفة كيفية الاستفادة منها
“Aturan-aturan umum yang digunakan untuk mengantarkan kepada Istimbat makna-makna Alquran al-Adzhim dan pengetahuan tentang cara menerapkannya.”
Pada dasarnya definisi tersebut bukanlah satu-satunya definisi kaidah tafsir yang bersifat mutlak. Dengan merujuk dari pembahasan dan definisi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa kaidah-kaidah tafsir adalah hukum dan aturan umum tafsir yang mencakup rincian hukumnya yang digunakan para mufasir sebagai upaya pendekatan dalam
menafsirkan Al-Qur’an untuk menyingkap makna dan maksud ayat sebagaimana yang diinginkan oleh Allah swt.
Menurut ‘Ali Iyazi, kaidah tafsir adalah ما يحتاج إليه المفسر “sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir”. Dalam bahasa Inggris, kata kaidah yang lebih tepat diartikan dengan principles (prinsip-prinsip), berbeda dengan metode yang berarti cara (al-thariqah), dalam bahasa Indonesia biasa dikenal dengan “pendekatan”. Karena itu, Iyazi membedakan antara qoidah dengan manhaj. Kalau manhaj menurut Iyazi adalah المسلك الذي يسلك اليه المفسر “jalan yang ditempuh oleh seorang mufassir”. Kaidah juga berbeda dengan dhabth (definisi) (Haririe, dkk: 2024).
- Urgensi Kaidah Tafsir
Alquran menurut Al-Zarkasy (dalam Haririe, dkk: 2024) seperti lautan yang dalam, memahaminya adalah ketelitian, tidak akan sampai pada kedalaman memahaminya kecuali dengan luasnya pengetahuan yang dimilikinya, memiliki ketaqwaan kepada pemiliknya. Namun menurut M. Qurasih Shihab (dalam Haririe, dkk: 2024) ada hal yang sangat penting diperhatikan bila hendak menafsirkan Alquran, yakni mengenai pola interaksi dengan Alquran. Interaksi yang dibangun Alquran meliputi hubungan timbal balik di antara keduanya. Karena itulah menjadi penting untuk diperhatikan bila ingin menafsirkan Alquran.
Kaidah memiliki peran penting membantu para penafsir Alquran dalam menjelaskan makna dan kandungan Alquran. Bahkan karena begitu pentingnya, Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi menyimpan teori kaidah-kaidah penafsiran pada jilid pertama dari rangkaian kitab Tafsir Mahasin al-Ta’wil. Hal itu disebabkan adanya keinginan dari pihak penulis agar para pembaca tafsir yang disajikan terlebih dahulu standar yang beliau kemukakan di awal, sehingga tetap memberikan petunjuk teoritis mengenai pijakkan dalam menafsirkan Alquran.
Secara ontologis, eksistensi qowaid tafsir difahami sebagai sebuah ketetapan-ketetapan yang dengannya para mufassir Alquran akan terbantu dalam memahami dan memberikan kandungan-kandungan yang dimiliki Alquran serta dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya- mufasir mampu menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya. Karena itulah qawaid tafsir Alquran menjadi hal yang sangat penting mengingat kerja menafsirkan diharapkan mampu mengungkap makna yang disampaikan Alquran serta mampu dipahami oleh pembaca sehingga kehidayahan Alquran akan dapat dirasakan manfaatnya dari peran dari mufassir.
Seperti disebutkan di atas yang menegaskan bahwa kaidah penafsiran sebagai ketentuan penting dan utama, maka ia menjadi pedoman inti bagi siapa saja yang berusaha melakukan discovery keilmuan al-Qur’an. Ia menjadi pijakkan teoritis yang membantu dan mendampingi para mufassir melakukan aktifitas tafsir. Karena bagaimana pun juga, kehadiran kaidah-kaidah penafsiran ini menjadi hal yang tidak boleh diabaikan mengingat objek yang menjadi kajian merupakan kalam suci yang harus dijaga sakralitasnya dengan tidak mengganggapnya sebagai teks biasa yang menurut sebagian orang bisa ditafsirkan sebagaimana teks-teks pada umumnya. Syarat-syarat inilah yang akan menjaga mufasir dari kesalahan dan membentenginya dari komentar-komentar bodoh.
Referensi:
Haririe, dkk. (2024). Antologi Artikel Ilmiah: Pengantar Studi Naskah Tafsir. Kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Quran (qowaid tafsir): Definisi, Urgensi, Ragam dan Aplikasi. Purwakarta: Taqaddum Press. H. 193-197
-
Al-Quran dan Keistimewaan Gaya Bahasanya
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Saw secara berangsur-angsur. Adapun muatan dari al-Qur’an sendiri merupakan wahyu-wahyu dari Allah swt yang kualitas periwayatannya adalah mutawatir. al-Qur’an pun diturunkan secara bertahap yang memuat berbagai nilai, baik itu nilai teologis (akidah), nilai-nilai hukum, kemanusiaan maupun nilai-nilai yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Untuk itulah al-Qur’an bukan hanya diposisikan sebagai kitab suci, melainkan betul-betul menjadi pedoman dalam kehidupan manusia (Ibnu Khaldun: 2001).
Sebagai Kalamullah, pada mulanya para ulama sepakat bahwa Kalamullah itu tidak mempunyai bahasa tertentu atau sering disebut oleh para ulama adalah “munazzahun ‘anillughaat” (terbebas dari bahasa). Kemudian Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril as. dan sampai kepada dada Nabi Muhammad SAW. dengan bahasa Arab (Qamhawi: 2007). Bukan tanpa tujuan, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena al-Qur’an turun kepada bangsa Arab.
Sebagai kitab suci yang diturunkan kepada bangsa Arab yang saat itu tengah mengalami masa keemasan di bidang sastra, maka al-Qur’an pun turun kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, dengan kandungan sastra yang sangat tinggi. Siapapun yang membacanya akan memahami bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an bukanlah bahasa yang biasa, melainkan bahasa yang hanya dapat diaplikasikan oleh para sastrawan (Ibnu Khaldun: 2001). Hal ini pun Allah swt sampaikan di dalam firmannya:
﴿إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ٢﴾ [يوسف: 2]
Artinya: “Sungguh Kami menurunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab agar kalian memahami.”
Zuhaili (2016) menjelaskan tafsiran dari ayat tersebut bahwa Allah swt menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab. Yaitu dengan gaya bahasa yang paling fasih dan paling jelas serta paling luas (pemaknaannya) dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Dengan pola penyampaian yang sangat menyentuh hati, agar dapat ditadabburi dengan mudah setiap ayatnya.
Penafsiran Wahbah Zuhaili tadi diperjelas oleh Ihsan Amin (2007) bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa yang sangat fasih karena berapa aspek gaya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an:
- Penggunaan konteks mukhotob yang tepat dan sesuai dalam setiap ayat. Misalnya kapan Allah swt menyampaikan ayat-ayat tertentu kepada orang-orang mukmin, kapan kepada orang kafir, dan kapan pula disampaikan kepada manusia secara umum.
- Ayat-ayat di dalam al-Qur’an menggunakan gaya bahasa yang mengajak orang untuk mentadabburi dan mentafakkuri setiap ayat-ayat tersebut. Sehingga pesan-pesan ayat al-Qur’an dapat menyentuh pembacanya dengan baik sesuai nalar dan logika pembacanya, namun tetap sesuai dengan maksud aslinya.
- Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang umum yang dengan sangat mudah dapat difahami oleh orang-orang Arab karena menggunakan bahasa yang sebenarnya sangat dekat dengan mereka.
Walaupun al-Qur’an turun dengan bahasa Arab dan sebagaimana dijelaskan Ihsan Amin tadi bahwa al-Qur’an turun dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah untuk difahami oleh orang Arab, Al-Qurthubi (dalam Zuhaili: 2016) menyampaikan bahwa al-Qur’an tetap memiliki keunikan dan keistimewaan gaya bahasa yang menjadikannya sebagai mukjizat:
- Komposisi yang indah yang berbeda dengan susunan yang dikenal dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya, sebab komposisinya sama sekali bukan tergolong komposisi puisi.
- Diksi yang berbeda dengan seluruh diksi yang biasa digunakan oleh orang Arab.
- Kefasihan yang tak mungkin dilakukan oleh makhluk, yang mana manusia dan jin sekalipun tidak mampu membuat rangkaian seperti surah terpendek dari al-Qur’an.
- Pemakaian bahasa Arab dengan cara yang tidak dapat dilakukan seorang Arab sendirian sehingga semua orang Arab sepakat bahwa pemakaian tersebut tepat dalam hal peletakan kata atau huruf di tempat yang semestinya.
Zuhaili (2016) pun menjelaskan mengenai karakteristik penggunaan setiap diksi di dalam al-Qur’an sebagai sebuah gaya bahasa yang sangat istimewa. Pertama, pola dan susunan yang luar biasa indah, serta timbangan yang menakjubkan yang berbeda dari seluruh bentuk kalam bangsa Arab, baik puisi, prosa, atau syair. Kedua, keindahan kata yang amat memukau, keluwesan format, dan keelokan ekspresi.
Ketiga, keharmonisan dan kerapian nada dalam rangkaian huruf-huruf, susunannya, formatnya, dan inspirasi-inspirasinya sehingga ia layak untuk menjadi seruan kepada seIuruh manusia dari berbagai level intelektual dan pengetahuan; ditambah lagi dengan kemudahan menghafalnya. Keempat, keserasian kata dan makna, kefasihan kata dan kematangan makna, keselarasan antara ungkapan dengan maksud, keringkasan, dan kehematan tanpa kelebihan apapun, dan penanaman banyak makna dengan ilustrasi-ilustrasi konkret yang hampir-hampir dapat ditangkap dengan panca indra dan pembacanya dapat berinteraksi dengannya, walaupun ia diulang-ulang dengan cara yang atraktif dan unik.
Dengan keindahan dan keistimewaan gaya bahasa dalam al-Qur’an, tak jarang bahasa-bahasa al-Qur’an tidak dapat difahami secara tepat oleh pembacanya, terutama yang tidak memahami kaidah-kaidah bahasa Arab. Terlebih lagi, Tingkat intelektualitas manusia amatlah beragam, untuk itu tetap dibutuhkan penafsiran yang sesuai agar pemahaman yang ditangkap sesuai dengan makna aslinya. Hal inipun dijelaskan oleh Ibnu Abbas (dalam As-Suyuthi: 1996): “Mereka mengetahui wujud luarnya dan hukum-hukumnya, tetapi untuk memahami secara mendalam itu harus melalui analisa lebih lanjut, bahkan dalam memahaminya pun berbeda-beda, sesuai dengan pengetahuan dan kesanggupan masing-masing.”
Dengan demikian, maka dalam memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, diperlukan penjelasan yang bersumber dari sumber yang terpercaya, yaitu Rasulullah Saw, yang mana pemaknaan-pemaknaan dari setiap diksi di dalam al-Qur’an pun harus sesuai dengan makna-makna yang sesuai dan dapat diterima oleh bangsa Arab (karena al-Qur’an turun dalam bahasa mereka), dengan begitu pemaknaannya akan mendekati ketepatan dengan maksud yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an (At-Thabari: T.Th.).
Referensi:
Amin, Ihsan. (2007). Manhaj an-Naqd fii at-Tafsir. Beirut: Daar al-Hadi.
At-Thabari. (T.Th.). Tafsir at-Thabari. Jilid 1. Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah.
Ibnu Khaldun. (2001). Muqoddimah Ibnu Khaldun. Terj. Masturi Ilham, dkk. Cet. 3. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Qamhawi, M.S. (2007). Al-Ijaz wa Al-Bayan fii ‘Uluumi Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Al-Syuruq Ad-Dauliyah.
Suyuthi, J. (1996). Al-Itqan fii ‘Uluumi al-Qur’an. Ed: Musthafa Diib al-Bugha. Cet. 2. Jilid. 2. Damaskus: Daar Ibnu Katsir.
Zuhaili, W. (2016). Tafsir Al-Munir. Jilid 7. Depok: Gema Insani Press.
-
Menafsir Gusdur
Kemarin Gusdurian Purwakarta ngadain diskusi dan bedah buku Gusdur, Tuhan Tak Perlu Dibela. Dipaneli oleh Aroka, Dion, dan Ghozin. Kalau mau sebut, Aroka Fadli tetap pembicara topik keislaman kontemporer paling memukau di Purwakarta meski sudah 100 tahun tidak menulis lagi. Kemampuannya bicara hilir-mudik antara teks-teks turats dan alam intelektual Gusdur di buku ini, saya kira belum tertandingi dan kian matang dari waktu ke waktu. Begitu pun percobaan Dion mensintesiskan nilai-nilai pokok Gusdur dengan nilai-nilai filosofis yang dipromosikan Yuval Noah Harari, dan Ghozin yang mengangkat mitos-mitos kewalian di sekitar Gusdur, juga tak kalah menarik.
Sudah lebih setahun forum semacam ini absen dari perbincangan, maka semuanya jadi menyenangkan disimak. Jujur, kadang bosan juga dengan diskusi filsafat dan kesenian. Meski begitu, saya cuma mau utarakan apa yang telah saya pikirkan jauh hari, yang rasanya juga beresonansi pada acara kemarin.
Tema utama dari tulisan Gusdur dari artikel “Tuhan Tak Perlu Dibela” saya kira adalah–yang ia sebut dalam istilahnya sendiri–bagaimana formalisme islam merespon tantangan modernitas.
Tanpa bermaksud suul adab, jujur saja istilah-istilah tadi itu boring, bukan? Sekarang izinkan saya coba membuatnya lebih menarik, dengan tiga ilustrasi berikut.
Pertama, bayangkan, jika sebuah perusahaan dengan branding islami atau syar’i yang tidak pernah menggunakan alasan “gaji sedikit yang penting berkah” hanya untuk mengupah tenaga pekerja dengan siminimal-minimalnya, tapi menguras tenaga mereka semaksimal-maksimalnya.
Kedua, bayangkan, masjid dekat rumahmu tidak cuma jadi ruang ibadah dan tempat mengadu-adu jumlah isi kotak amal setiap Jumat. Melainkan jadi tempat mengadu dan berlindung bagi yang lapar, tak punya rumah, dan telanjang.
Ketiga, bayangkan, sekolah islam di sekitarmu berani menjamin wujud ruang aman dari kekerasan seksual untuk anak-anak dan perempuan, sebelum menjanjikan pada para wali murid “rumah di surga”.
Oke, sekarang coba gantikan kata Islam dalam ilustrasi di atas dengan kata UMUM dan gantikan kata masjid dengan fasilitas publik. Lebih menarik?
Sekarang mari masuk ke bagian agak membosankan. Kita bahas sedikit soal “tantangan modernitas” yang sempat disebut.
Tanpa bahasan mendakik, saya mau artikan tantangan modernitas dengan kapitalisme. Dalilnya sederhana, tanpa kapitalisme mustahil kita melihat dunia modern ini–dalam artian terbaik, sekaligus terburuknya. Gambaran simpelnya, lihatlah produk-produk dengan teknologi termutakhir dan gaya hidup serba mudah ini, yang juga datang dengan ongkos kelestarian alam dan hak azasi manusia. Singkatnya, ini masalah.
Tapi gimana umat islam menjawab ini?
Saya mengerti sebenarnya kita sebagai umat Islam tidak dengan sengaja mengabaikan atau bahkan naudzubillah melestarikan problem-problem laten yang ada. Kita punya nurani, sangat umum marah dan malu saat kasus-kasus tertentu naik ke permukaan.
Namun persoalan kita adalah tak tahu cara marah yang benar, tak ngerti pula menyikapi rasa malu dan bersalah. Sehingga tegangan-tegangan antara semangat berislam dengan problem yang ditimbulkan oleh modernitas, seringkali cuma direspon secara reaktif dan gegabah. Sebutlah peristiwa penangkapan seorang stand-up komedian yang disangka menista nama Nabi. Negara ini nyatanya punya slot untuk memenjarakan lawakan gagal, tapi tak punya sel kosong buat penjahat HAM.
Lebih dari itu, kita silau dengan istilah-istilah: kuburan syari, perum islami, sekolah islam. Bukan istilahnya yang salah, tapi esensi dari sekolah sebagai ruang aman, rumah sebagai hak dasar manusia; inilah yang ditenggelamkan dalam kemilau istilah-istilah surgawi ini. Ini membuahkan pertanyan penting, antara kita murni lugu, atau kondisi ini sengaja dibiarkan buat memanipulasi umat? Seperti brosur cicilan motor dengan DP seratus ribu.
Inilah tantangannya. Di satu sisi kita tahu kapitalisme dan turunan-turunan sistemnya telah menciptakan tantangan modernitas, sementara di lain sisi Islam yang digadang-gadang dapat tampil menjawab, eh prakteknya tak jauh beda.
Ringkasnya, bagi Gusdur–dalam artikel yang saya sebut di awal–Tuhan memang tak perlu dibela. Karena ada yang lebih berhak dibela, yaitu mereka yang diperas, dimiskinkan, dan disingkirkan, entah oleh yang lebih kuat posisinya atau lebih banyak jumlahnya. Ia menegor kita agar tak mudah silau dan kritis dengan semangat formalisme islam, yang semakin sering terlihat jualan ludah belaka.
Sekarang, di kota kecil dengan diorama sosok Gusdur yang berdiri sejak 5 tahun terakhir ini, mari kita tinggalkan sejenak bual-bualan kapitalisme di atas dan memikirkan pertanyaan seorang peserta diskusi kemarin: saat kita sedang bicara urusan membela Tuhan, orang Purwakarta ingin membela apa?
-
Dear Penstudi Alquran & Tafsir yang Bergairah
Kepada teman-teman menyenangkan di IAT Pascasarjana UIN Bandung & kawan-kawan mahasiswa IAT di STAI Al-Muhajirin. (Khususon Hariri, Acep, Aldi, Sigit, Maolidya, dan Lael. Dua nama terakhir saya sebut, biar tidak dirujak peminat tafsir feminis. Nama lain tidak disebut, karena belum akrab saja. Terutama yang menyebut dirinya “Petualang Cinta”. Tobatlah, Nji. Tahun berapa ini? Wkwk
Dasar dari surat terbuka ini sederhana. Saya ingin meyakinkan diri bahwa di hari saat memutuskan mengisi formulir Pascasarjana IAT UIN Bandung, saya tidak sedang mengambil keputusan yang ceroboh. Kemudian, karena Acep berkali-kali bilang:
“Mang ajakin kita semua rajin baca dan nulis, biar lincah menulis dan tahan membaca.”
Yang pertama mudah saja. Yang kedua agak tricky, ini jelas bukan tanggung jawab saya, lha wong saya tidak sejago dan serajin yang dikirakannya, plus ada yang lebih tepat mengambil role itu. Tapi ya sudahlah. Senang rasanya punya alasan untuk berkorespondensi (dalam bentuk tulisan dan bacaan) dengan teman-teman penstudi Alquran dan Tafsir. Lagipula, ngomongin sastra, politik lokal, dan skena kesenian melulu kadang bikin hopeless.
Baiklah, karena itu saya ingin sampaikan tiga hal, dan berharap anda mau bertahan sampai poin kedua saja. Biarkan poin ketiga untuk orang-orang yang stok energinya melimpah-limpah seperti Icun saja.
Pertama: Mengambil jenjang S2 adalah pilihan yang besar
Saya yakin melanjutkan kuliah di masa ini bukanlah keputusan yang setara dengan check-out barang-barang unik di Shopee. Beberapa dari kita mesti bersiasat dalam banyak hal, tabungan, pos-pos energi, dan budget waktu. Membagi antara belajar dengan bekerja, nugas dengan mengurus keluarga, dan seterusnya.
Jika ada yang merasa semua ini terlalu overwhelming, saya yakin itu valid. Tiga bulan lalu saya terpaksa menolak project yang bikin gigit jari. Setiap teringat itu rasanya ingin mencebur di kolam tengah kampus 2 UIN. Menjadi angsa atau ikan mas sepertinya lebih menarik.
Kemudian saya merefleksikan semua ini perlahan, dan saya mau ajak teman-teman juga menyusuri perasaan semacam ini.
Saban kali kita mengambil keputusan sebesar ini, di usia ini, bukan cuma diri kita yang berkorban. Ada calon pasangan yang rela menunda keinginannya hidup bareng kita; atasan yang memberikan kelonggaran jam kerja; saudara yang memberikan subsidi semampunya; dan daftar ini bisa lebih panjang lagi. Poinnya, ada orang lain di sekitar kita yang juga berkorban dan kadang kita kurang notice karena terlampau fokus pada diri sendiri.
Saya tidak bilang, bahwa kebaikan mereka seperti pinjaman yang wajib dikembalikan. Melainkan percaya, bahwa saat kita memimpikan sesuatu, maka Allah gerakkan semesta untuk membuka jalan. Dengan cara yang acapkali kita gak notice.
(Astaga. Saya terbaca seperti sedang menceramahi. Maafkan.)
Intinya jika semua kadang terasa nyaris tak tertanggungkan, saya harap kita semua mengerti, kita sedang lakukan hal yang bermakna.
Kedua: Jika Alquran adalah jawabannya, maka apakah pertanyaan-pertanyaannya?
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang bisa saya kumpulkan.
Apa yang kita baca sejak kecil dan terus-terusan mendebarkan dada kita?
Apa yang kita baca sampai sekarang tapi masih sering membuat dahi kita berkerut?
Anda boleh menambah jumlah pertanyaan ini sesuai dengan pengalaman personal masing-masing. Dan setiap pertanyaan ini saya yakin akan menegaskan kembali, kenapa kita masih mau-maunya memaksa diri masuk kelas, meski dalam keadaan dongkol. Atau beradu argumen saat ngopi di luar kelas dengan gairah yang meluap-luap.
Mau diakui atau tidak. Kita didorong oleh gairah untuk lebih dekat dengan Alquran. Dengan tingkat obsesi yang ganjil, nyaris sepadan dengan obsesi remaja kita pada tipe-tipe kekasih idaman–atau silakan buat perumpamaan lain. Yang jelas, kita memikirkannya, membicarakannya, mendebatkannya, sekaligus menertawakannya. Semalam saya merasa lucu sendiri masih berdebat tipis-tipis dengan Icun dan Acep soal bedanya metodologi dan corak tafsir.
Saya kadang membayangkan percakapan kita mungkin mirip-mirip obrolan Phil. Sahiron dan teman-temannya saat mereka masih sarjana muda dan suka mengutang di warung kopi. Saya percaya obsesinya pada hermeneutika Alquran tak mungkin lepas dari budaya obrolan di circle pertemanannya.
Karena jujur saja membayangkan bakal nongkrong dengan teman-teman adalah satu hal paling menyenangkan meski harus berserapah setiap mandi jam 3 pagi dan pergi mengejar kereta Purwakarta-Bandung.
Jadi, alangkah baik jika kita mau temukan alasan-alasan (rangkai tanya dan jawab) yang paling relate dengan hidup kita, berikut perkawanan dan percakapan yang menyenangkan dalam journey ini.
Ketiga: Jika Anda punya waktu …
Saya mengajak teman-teman untuk menulis topik-topik dalam Alquran dan tafsir sebagai bentuk refleksi diri di portal ini.
Sebuah interaksi dan renungan yang personal, yang unik, yang mengekspresikan obsesi dan gairah kita pada salah satu fenomena (untuk tidak menyebutnya buku) paling tua, dan memiliki ikatan mendalam dengan hidup kita.
Tidak perlu serius dan akademis. Kita sama tahu menulis dengan format begitu bisa melelahkan, bahkan bikin sebal sendiri.
Kita coba saja dengan topik-topik ringan, dan gaya menulis yang suka-suka–asal kaharti. Seperti bagaimana ayat-ayat tertentu punya makna khusus bagi hidup kita secara personal, karena “menguatkan” diri kita di masa-masa sulit. Atau percakapan unik orang yang tak sengaja kita curi dengar di kafe-kafe sambil bawa-bawa ayat al-quran. Apa pun. Asal tidak memberatkan diri, dan membuat kita semakin ringan hati atau sambil haha-hihi membicarakan kajian Alquran dan tafsir seperti di tongkrongan dan kedai kopi.
Dengan cara begini saya percaya, bakal terbangun engagement yang personal dan mendalam pada al-quran sekaligus melatih kelincahan menulis dan daya tahan membaca. Hal yang secara inheren harus ada pada seorang penstudi Alquran dan Tafsir.
Ngomong-ngomong saya tertarik ingin tahu apa yang Ust. Hariri temukan dengan kebiasaan orang Sudan saat ramadan. Apakah mereka seperti di kita, menyetel rekaman Syaikh Misyari Rasdyid di TOA masjid saat jam 2 dini hari?
Membikin kita bingung, mau ikutan tadabur, atau mengutuk takmir masjid yang solehnya keterlaluan itu.
Ala kulli haal… begitulah.
Ps: Jika anda tertarik, anda bisa kirim tulisan Anda ke kontak personal saya. Santai saja.
Beberapa contoh tulisan yang menurut saya santai dan mudah ditulis bisa dilihat di link-link berikut:- Ayat-Ayat Pencela Ahok oleh Ahmad Farid
- Keniscayaan Tafsir Sosial oleh Zulkarnaen
-
Tafsir Alquran dan Ruang Aman Perempuan
Pada akhir tahun 2023, belum lama ini, pimpinan Ponpes Miftahul Huda di Purwakarta diamuk massa. Pasalnya warga marah karena pimpinan ponpes tersebut diduga mencabuli 15 santriwati yang masih di bawah umur. Parahnya aksi sang ustaz sudah dilakukan sejak bertahun-tahun, tepatnya ketika para santri duduk di bangku kelas 4 SD hingga sekarang kelas 2 MTs.
Ini hanya satu kasus kekerasan seksual di Pesantren yang terungkap, dari sekian banyak kasus yang sama setiap tahunnya. Tak bisa kita bayangkan berapa jumlah sebenarnya, dan berapa yang benar-benar diusut tuntas secara hukum.
Dari kasus-kasus yang menambah cela dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren, anehnya masih sering kita lihat pesantren yang menutup-nutupi kasus semacam ini dengan berbagai alasan. Misalnya, kasihan santrinya, nama baik pesantren, sampai menjaga martabat keluarga. Ini hanya menambah kesan bahwa institusi agama tak serius menanggapi masalah seperti ini. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut masalah ini sebagai jenis kelatenan lain. Seperti budaya ghosob sandal di asrama.
Ada beberapa hal yang bisa kita tandai dari peristiwa ini. Meski kasus begini terus berulang, masyarakat seringkali abai betapa pentingnya mempercayai pesantren atau lembaga pendidikan yang membicarakan ruang aman sebagai agenda pendidikan mereka. Alih-alih begitu, masyarakat kita lebih suka bertindak reaktif, seperti mengamuk di atas.
Kemudian, badan-badan organisasi (entah yang dibentuk oleh negara atau pun sipil) yang menaungi pesantren seringkali abai mengatasi maupun mencegah problem ini. Dan yang terparah, tafsiran agama (dalam hal ini Alquran) yang seperti apa sih yang diajarkan oleh pesantren-pesantren kita? Kok gini-gini amat.
Namun kondisi ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan buntut dari kebijakan struktural kita. Ambillah contoh, UU Pesantren yang sama sekali tidak memasukkan agenda Ruang Aman, padahal kasus seperti ini sudah bukan barang baru. Apalagi, kenyataan RUU P-Ks gagal disahkan, menambah panjang jalan keluar masalah ini.
Solusi rasa-rasanya tidak bisa diharapkan datang dari ruang-ruang yang penuh orang ngantukan–tempat kebijakan struktural dirumuskan. Dan yang tak kalah penting stigma, bahwa islam tidak mengakomodir percakapan-percakapan yang adil gender.
Di Indonesia mungkin perempuan tidak dilarang-larang seperti di Afganistan dan Saudi Arabia, tapi dari rentetan kasus yang disebut di awal tulisan ini, kita tak bisa bilang keadaan kita baik-baik saja. Terutama bagaimana umat Islam Indonesia melihat isu-isu gender, seakan-akan keduanya adalah topik yang berseberangan, padahal sebenarnya tidak.
Buktinya adalah keberadan produk-produk tafsir yang pro keadilan gender seperti yang mulai populer dibicarakan di ranah akademis maupun komunitas pembela isu-isu gender, yakni Qiraah Mubadalah. Dan agaknya inilah alternatifnya.
Meski relatif baru–dan ini menunjukkan perkembangan baik dalam ranah kajian ilmu tafsir–tentu saja ini bisa jadi angin segar bagi sengkarut masalah tadi. Bukankah akan lebih baik jika lingkungan yang sadar ruang aman, dimulai dengan paradigma penafsiran agama yang lebih ramah gender?
Dalam bukunya, Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa secara metodis, Qiraah Mubadalah memberikan peluang untuk melakukan pengembangan pemahaman dan praktik terhadap teks agar memiliki nilai kesalingan hubungan. Qiraah Mubadalah menawarkan penempatan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama dalam konteks penafsiran Alquran atau hadis.
Paradigma menafsirkan nash keagamaan yang seperti ini penting diadopsi di pesantren, minimal untuk menumbuhkan awareness, dan maksimal mendorong usaha yang serius untuk menegakkan qanun atau aturan pesantren yang bisa menciptakan ruang aman di pesantren. Sebab pengalaman saya nyantri 10 tahun dengan qanun pesantren ini bikin sedih. Bagaimana mungkin aturan-aturan pesantren seperti mencuri dan merokok ada, tapi untuk kekerasan seksual malah tak disebutkan?
Dan agar pesantren mau menerimanya ia mesti dikampanyekan dengan banyak cara, kajian, kerja sama pendidikan dengan komunitas, maupun anjuran langsung dari organisasi sipil yang menaungi pesantren tersebut.
Khatimah
Kita mungkin sering dengar ini. Di saat-saat yang paling sulit, selalu ada saja angin-angin yang menyegarkan. Belum lama ini, kita lihat bahwa kesadaran santri-santri muda pada pentingnya ruang aman di pesantren semakin membaik.
Keberadaan Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (Formujers); Kongres Ulama Prempuan (KUPI), dan popularitas Qiraah Mubadalah di komunitas-komunitas akademis sampai ke komunitas pembela keadilan gender di banyak kota, bisa menjadi tanda utama bahwa perkembangan Tafsir di Indonesia berjalan ke arah yang baik. Pendeknya Alquran, melalui perkembangan cara menafsirnya terus menempatkan dirinya sebagai solusi masalah umat di segala masa, di segala tempat. Sholihun likulli zaman, wa makaan.
Sebagai penutup, saya akan meminjam puisi dari penyair masyhur kita, Ch. Anwar. Kerja belum selesai, belum apa-apa. Artinya semangat ini mesti terus dijaga dan diwariskan.